
Lagi-lagi Ratih lupa membangunkan aku lebih pagi. Meski hari ini adalah hari libur, tapi pekerjaan yang kubawa dari kantor belum juga selesai. Tertumpuk di sudut meja kerjaku. Bahkan, aku terpaksa begadang untuk menyelesaikan proyek perusahaan yang lusa harus dipresentasikan di hadapan pimpinan dan partner perusahaan.
Sudahlah! Tak ada waktu menggerutu. Mandi, lalu menuntaskan pekerjaan. Ketika akan bangkit dari kasur, tiba-tiba aku mendengar gelegak tawa dari balik pintu. Sungguh ramai. Ada apa?
Bak langkah pencuri, aku berjingkat ke depan pintu. Kutempelkan telinga sejajar di pintu itu. Rupanya suara ibu-ibu dari ruang tamu. O..aku baru sadar. Ternyata giliran kami arisan ibu-ibu komplek. Kemarin Ratih memberitahuku ketika menemaninya ke salon. Lagi-lagi paduan tawa itu semakin kencang. Apa yang mereka perbincangkan? Apa ada yang lucu? Uh! Dasar ibu-ibu, semua seketika jadi tukang gosip ketika sedang ngumpul. Pasti ada saja yang dibahas, termasuk laku suami masing-masing. Apa Ratih juga menceritakan kejelekanku di hadapan ibu-ibu itu?
“Jeng, anakku itu loh.”
“Kenapa Bu Sri…”
“Kemarin anakku menjerit di WC. Aku sampai terkaget-kaget!”
“Anak Ibu terjatuh?” timpal ibu lainnya.
“Bukan! Ketika anakku jongkok di kloset, seekor cacing muncul di pantatnya,” ucapnya sambil tertawa. Semua ibu-ibu serempak ikut tertawa. Aku pun jadi ikut-ikutan. Ops! Aku segera menutup mulut. Apa jadinya jika mereka mendengar suara lain hadir dari balik pintu ini. Bisa barabe. Malunya setengah mati. Ibarat pencuri yang tertangkap basah.
“Kok bisa,” sahut yang lain.
“Itu gara-gara Ibu Bidan tempo hari kasih obat perut, si cacing jadinya belingsatan. Dan bergoyanglah si cacing itu seperti tarian percintaan”. Serentak tawa ibu-ibu itu kembali pecah.
Bicara tentang makhluk itu, aku punya pengalaman sendiri. Cerita tentang aku dan Ratih sewaktu masa pacaran. Saat itu kami berada di kolam renang. Karena Ratih tidak bisa berenang, aku pun mengajarinya. Baru separuh jalan, Ratih teriak! Tubuhnya menjauhiku. Jeritannya membuatku kaget.
“Ada apa?”
“Di badanmu ada cacing,” balasnya gemetar.
“Haaa..di mana?” Aku mengebas-ngebas badanku.
“Itu, di sana! Ada satu di punggungmu, satu di kepala. Ihh…satu lagi keluar menjulur dari kedua matamu!” Oh dari mata? Apa ada cacing keluar dari mata?
“Tuh, satu lagi muncul dari hidungmu. Yang ini malah lebih besar,” ucapnya panik. Suaranya semakin kencang.
“Di mana? Jangan bercanda,” ujarku bercampur cemas sambil meraba bagian tubuh yang dimaksudnya.
Kupikir Ratih sedang mengigau, diserang mimpi buruk. Tapi masa seh Ratih mimpi di siang bolong begini? Apa mungkin ada yang salah dengan Ratih, atau jangan-jangan dia kemasukan penunggu kolam ini. Hal itu juga mustahil buatku. Penunggu apa? Aku sendiri sejak dulu tak percaya hal-hal yang berbau mistik.
Sejak peristiwa itu, Ratih tak pernah menyinggung mahkluk kecil itu. Menurutnya binatang itu benar-benar ada. Badannya menggeliat basah penuh lendir. Anehnya lagi, lendir di tubuh binatang itu berwarna ungu. Ah..apa ada cacing berwarna ungu? Istriku ini memang suka mengada-ada. Dia tahu aku suka warna ungu, tapi kenapa harus dikaitkan dengan binatang itu. Bagiku cacing merupakan binatang yang sangat menjijikkan. Mendengarnya saja sudah membuatku nyaris muntah. Ratih juga demikian. Karena peristiwa itu, aku pernah berpikir membawa Ratih ke psikolog kenalanku. Jiwanya perlu diperiksa. Setidaknya aku ingin tahu mengapa Ratih bersikap demikian.
***
Pernah suatu kali aku dan Ratih bersitegang ketika kami pulang dari pesta yang digelar atasanku, Pak Candra. Sebagai salah satu pengusaha ternama, Pak Candra kerap membuat pesta megah di rumahnya. Dia memang suka pesta. Sebenarnya aku dan Ratih menikmati pesta yang terbilang mewah itu. Teman-teman Pak Candra banyak yang datang. Termasuk para petinggi kota dan kolega terkenal perusahaan. Salah satu tamu istimewa yang hadir adalah Pak Bobby, Walikota yang baru terpilih kembali memimpin kota ini. Sang Walikota teman baik Pak Candra sejak lama. Hampir sebagian besar proyek darinya dikerjakan perusahaan kami.
Semua tamu tampak memakai pakaian terbaiknya. Aroma parfum merebak di udara. Baunya sengat hingga membuatku sedikit pusing. Bagiku itu bukan bau parfum. Tetapi seperti bau sampah berbulan-bulan tak diangkat. Makanan yang disajikan juga beraneka ragam, dan seolah tak ada habis-habisnya berdatangan. Para tamu sungguh dimanjakan. Apalagi mereka juga tak berhenti menyantap makanan ditemani wine berbuih-buih. Sebanyak apapun makanan itu, mereka sikat tak bersisa.
Semakin malam pesta semakin syahdu. Penyanyi seksi ala Monroe meliuk-liuk di panggung, berwarna-warni, menyapa dengan mata kerling menggoda. Para istri seakan tak mau ketinggalan, senyum tak lepas mempertontonkan lemak tubuhnya. Beberapa malah tampak sibuk menunjukkan berlian mahal miliknya. Karena tak tahan kebanyakan minum, kuajak Ratih pulang duluan. Ketika akan pamit kepada atasanku itu, Ratih berbisik di telingaku.
“Kau lihat! Di perut Pak Candra juga banyak Cacing Ungunya.” Aku tersengat.
“Husss! Jangan bicara sembarangan! Malu nanti didengar orang-orang.”
“Loh…Apa kau tak percaya?” ucapnya menahan tawa.
“Ratih…” hardikku tertahan. Dia cuma tersenyum menutup mulutnya. Sejenak kuperhatikan perut Pak Candra yang dimaksud Ratih. Perutnya memang seperti gunung yang akan segera meletus. Tapi tak mungkin Cacing Ungu bersarang di sana. Istriku ini kembali kumatnya.
Tunggu dulu! O..apa itu? Binatang serupa lintah mengintip dari jas Pak Candra. Bukan, itu bukan lintah. Tapi cacing. Betul. Dari balik jas Pak Candra terlihat cacing-cacing seperti ingin berdesakan keluar. Binatang jijik itu silih berganti mengintip. Kadang kala mereka terlihat seperti bercanda. Tubuhnya bergoyang ke kiri dan ke kanan. Lalu beberapa diantaranya mengeluarkan taring penuh darah. Hanya tubuhnya saja yang berwarna ungu. Bentuknya pun bermacam-macam. Ada seperti kursi, parang, pesawat terbang, uang dollar. Oalahh…ada pula yang berbentuk senjata dan meriam panjang. Mereka berdansa ria di atas perut atasanku itu.
***
Rasa keheranan dan penasaranku makin bertambah saja. Apa dunia sudah gila? Atau aku sendiri yang memang benar-benar gila? Ternyata kusaksikan dengan mata-kepalaku sendiri, binatang jelek itu ternyata benar-benar ada. Bahkan setelahnya, binatang itu kerap muncul ketika aku dan Pak Candra sedang berdiskusi di ruang rapat. Ada kalanya mereka keluar dari mulut atasanku itu saat tertawa terbahak-bahak sambil bercerita tentang kemulusan tubuh Clara, sekretaris pribadinya. Binatang itu pun ikut tertawa, sampai-sampai beberapa diantaranya terjatuh ke lantai, lalu merangkak kembali masuk ke tubuh Pak Candra. Kulihat dia bergelinjang menikmati rasa sesak selaras dengan tubuh tambunnya itu.
Cacing-cacing itu semakin tak asing kusaksikan bersama Pak Candra. Bahkan ketika aku menemani beliau membicarakan proyek dengan salah seorang petinggi kota. Bukannya mencatat hasil rapat, aku malah asyik menikmati tarian mesum yang dipertontonkan para cacing itu. Pak Candra dan pejabat itu kemudian bersalaman dan berpelukan, para cacing itu lantas mengikutinya. Mereka berpelukan. Bukan! Mereka bercinta. Ah.. tidak! Mereka selingkuh. Ya berselingkuh. Aku terdiam mematung.
Binatang itu keluar-masuk dari perut keduanya. Saling mencengkeram. Bersekutu. Mereka bercinta dengan gaya yang amat liar. Lendir-lendir ungu menetes ke bawah. Baunya busuk dan menyengat. Pak Candra dan pejabat kota itu tak sadar. Saking eratnya, tak satu pun dapat memisahkan mereka berdua. Namun lama-kelamaan aku mulai terbiasa menyaksikan itu. Aku bahkan mulai berkenalan, terutama kepada cacing-cacing baru yang muncul dari tamu atasanku yang lain. Selanjutnya mereka menempel erat seperti yang sudah-sudah.
Pantas saja Ratih sering melihat cacing keluar dari tubuhku. Meski setiap aku raba, tak satupun bisa tertangkap. Cacing-cacing itu rupanya begitu liar dan gesit menghindar.
“Cacing yang keluar dari perutmu tak sebesar dan sebanyak Pak Candra” seloroh istriku.
“Benarkah?”
“Yang dari tubuhmu kurus-kurus! Seperti kurang gizi,” ujarnya terbahak-bahak.
“Kenapa tertawa? Apa kau suka?” Aku tersenyum nakal membalas ledekannya.
“Aku benci cacing dari tubuhmu. Aku ingin membunuhnya!”
“Apa mereka bisa diusir?”
“Aku tak bisa bayangkan setiap kali kita bercinta, binatang jelek itu keluar dan selalu menggelitikku!”
“Tapi kamu suka kan,” kataku terkekeh.
“Aku benci cacing perusak!”
***
Setelah kutimbang matang perkataan Ratih, aku pun memilih berhenti dari pekerjaan. Sungguh sayang memang, apalagi hidup kami semakin berkecukupan. Tetapi karena ulah binatang itu mulai mengganggu kehidupan kami, aku tak punya pilihan. Toh di luar sana masih banyak pekerjaan yang sehat tanpa cacing pengganggu itu. Kami ingin hidup bermartabat walau harus kehilangan kenyamanan yang selama ini telah kami dapatkan.
Sejak cacing-cacing itu pergi dari tubuhku, aku seperti lahir baru. Ratih tak pernah lagi melihat mereka muncul di tubuhku. Rumah kami pun serasa surga yang ditumbuhi bunga-bunga bermekaran. Aromanya kembali semerbak menghiasi setiap sudut ruangan yang kini nyaris kosong. Karena beberapa perabot dan kursi sudah kami gadaikan untuk biaya hidup dan menutupi utang. Dan sampai detik ini, aku belum juga mendapat pekerjaan seperti yang kami harapkan dulu. Bahkan TV pemberian ibu terpaksa kami jual.
Hari Minggu seperti biasa. Ratih pergi menghadiri arisan ibu-ibu komplek. Dia berangkat lebih pagi dan bilang agak pulang terlambat. Mereka sedang ada kegiatan sosial. Aku pun tinggal di rumah sendirian sambil berharap acara arisan itu lekas usai.
Tak lama pagar depan berbunyi. Sepertinya Ratih sudah datang. Dia masuk ke dalam rumah dengan menenteng banyak barang.
“Apa itu,” sergahku.
“Oh..ini beras, gula dan mie goreng,” ucapnya. Aku terperangah. Ada beras dua karung besar, gula putih yang kira-kira cukup untuk tiga bulan dan lima kardus mie instant. Dan masih banyak barang-barang lainnya teronggok di luar.
“Dari mana semua ini?”
“Kebetulan ibu-ibu arisan mengumpulkan bantuan dari para dermawan untuk para korban kebakaran di kampung sebelah,” sahutnya dari ruang dapur.
“Sebanyak ini?” Tanyaku lagi dengan bingung. Aku pun ikut membantu mengangkat semua bawaan Ratih ke dalam rumah. Kepalaku masih dibalut segunung rasa penasaran.
“Ini jatah buat ibu-ibu yang jadi panitia!” teriaknya lantang dari belakang. Dia tampak sibuk menyusun barang bawaan lainnya ke dalam kulkas. Satu-satunya perabotan yang belum sempat kami gadaikan.
“Kan seharusnya diberikan semua! Apa memang sudah cukup bantuan buat korban kebakaran itu?” balasku.
“Kalau kurang, kita cari lagi dermawan yang mau bantu!”
“Haaaa…” Aku jadi bingung. Aku susul Ratih ke belakang. Namun sungguh aku terpana! Dari karung beras, kardus mie dan puluhan minyak goreng itu, termasuk barang bawaan Ratih lainnya, keluar makhluk yang selama ini sudah hilang dipikiranku. Cacing Ungu yang menggeliat, seakan berlomba berdesakan keluar. Jumlahnya ada puluhan! Ahh.. ratusan! dan sekarang semakin lama semakin banyak, berjalan melata ke seluruh ruangan. Di meja makan, di kursi, juga di dinding. Ohhh…Mereka kembali! Kali ini lebih mengerikan. Bukan hanya bertaring, tapi binatang itu bertanduk mengeluarkan lendir berwarna ungu.
“Ratihhhhhh…..”
Medan, Sudut sebuah gorong-gorong,
Penulis: Hasudungan Rudy Yanto Sitohang
surealisme….paten
korupsi merupakan akar persoalan kita hari ini, tanpa malu-malu