
Senja kembali datang dari sudut lorong kota. Senja yang menawar luka, membawa air mata darah dan bara menyala-nyala. Coba engkau saksikan sendiri, ketika tiba-tiba darah dan air mata itu tumpah, membiru, berbau busuk. Lantas anjing-anjing liar yang lapar datang setengah berlari menjulur-julur lidah, mengerubungi makanan, menjilat-jilat dengan rakusnya, sisa pesta para petinggi kota tadi malam.
Saat pagi meninggi, anjing-anjing itu semakin menjadi-jadi, saling berebutan, saling sikut, seakan takut kehabisan jatah yang tak selalu datang setiap masa.
Inilah cerita yang telah melegenda di kota kami. Dikisahkan turun-temurun. Kami sering menyebut mereka: binatang yang terlahir dari bawah kota. Para penghuni gorong-gorong.
Tersebutlah sebuah kisah tentang mereka. Manusia terasing yang hidup di sudut lorong kota. Sebagian dari warga kota berharap penghuni gorong-gorong ini perlahan mati ditelan bumi, agar katanya tidak menyusahkan sebuah masa. Namun sebagian lagi malah menyambutnya dengan penuh sukacita. Mereka beralasan bahwa kehadiran manusia gorong-gorong itu justru membawa manfaat penting dalam peradaban, untuk dijadikan perbandingan bagi generasi mendatang, anak-anak di kota kami.
Entah darimana bermula, engkau bisa saksikan sendiri, pemandangan yang sampai hari ini masih terlihat terang. Di sana, di Lapangan Merdeka, sebuah tontonan tersaji diiringi nyanyian dan gelak tawa. Engkau juga bisa lihat tangan-tangan yang terbelenggu, mulut yang terbungkam, dan tubuh-tubuh yang rebah terkulai ke atas tanah.
Penghuni gorong-gorong tinggal di lorong gelap, di mana sinar matahari tak pernah terlihat. Dan, di sana engkau akan dengar ratapan yang begitu menyayat, tangis-tangis yang tak pernah berhenti, air mata yang menganak sungai. Karena di sana pula hikayat ini tak pernah lelah dituliskan menjadi kesaksian.
Malam pun menjelang. Kisah para penghuni mulai dituliskan.
“Besok anak ini harus segera kau serahkan,” ucap lelaki itu pada istrinya. Helaan napasnya terdengar berat.
“Ke mana kuserahkan?”
Perempuan itu seketika terdiam, tak sanggup meneruskan kata-kata berikutnya. Pikirannya menerawang seakan mencoba berdamai dengan masalah yang dihadapinya. Dinginnya malam membuat tubuhnya sedikit menggigil. Matanya nanar menatap anak di pangkuannya. Bocah lelaki itu tampak terlelap, setelah menangis sepanjang sore tadi menahan lapar.
Lelaki itu menatap istrinya seperti bara api yang menyala di depannya. Panasnya tak habis-habis membakar. Nyamuk-nyamuk berkelana tak pernah lelah menggigit. Sebelum mati terbunuh. Berkalang tanah.
“Kupikir kita serahkan saja pada Tuan Bobby,” lanjut lelaki itu
“Aku tidak setuju! Anak ini hanya akan jadi budak baginya.”
“Dari mana kau tahu,” selidik lelaki itu penasaran. Matanya tiba-tiba tajam menatap istrinya.
“Kudengar nasib anak Pak Sarmin setelah dititipkan di sana.”
“Apakah dijadikan budaknya?”
“Anaknya kemarin sore ditemukan mati. Menurut orang-orang, hati dan jantungnya hilang. Aku tak mau anak ini bernasib sama,” sahut istrinya dengan nada cemas.
Lelaki itu terdiam. Hanya suara-suara jangkrik terdengar parau di luar.
“Apa kau yakin?” tanyanya lagi memastikan. Dia sekarang jadi ikut-ikutan cemas.
“Begitulah kata orang-orang. Tapi apa kau ingin anak ini bernasib seperti kita?”
Lamat-lamat di kejauhan terdengar gelegak tawa histeris. Tangis pilu dan tawa silih berganti memenuhi sepinya gorong-gorong. Kali ini, tangis dan tawa itu, milik Mpok Sarmi yang dipasung di lorong paling ujung. Perempuan setengah baya itu jadi gila setelah anak perempuannya dijual suaminya dan tidak tahu bagaimana nasibnya sekarang.
Lelaki itu melengos, membuang pandang. Sejuta iba hilang sudah. Setiap penghuni tak lagi memikirkan satu sama lain. Karena mereka sendiri merasa hidupnya berada di ujung tanduk kematian.
***
Walau senja memancarkan bara, para penghuni berusaha tetap tegar, keluar-masuk gorong-gorong seperti biasa. Bau sampah, tikus-tikus yang bersilliweran, bukan hal asing bagi mereka. Jangan berpikir kalau para petinggi kota akan memberikan tempat yang layak buat mereka. Bahkan untuk bermimpi sekalipun. Karena mimpi hanya milik orang-orang beradab di kota. Mimpi hanya menjadi barang mahal yang tak pernah terpikirkan sama sekali.
“Aku bermimpi anak kita dipelihara orang-orang beradab itu,” ucap istrinya.
“Jangan berpikir aneh-aneh!” sahut lelaki itu kesal. Tubuh keduanya rebah di atas karung yang dibuat alas tidur berlantai tanah.
“Aku hanya berharap…”
“Pengharapan punya orang yang bisa membeli mimpi.”
“Aku memikirkan anak kita. Seperti katamu, aku pun ingin dia menjadi manusia, bukan binatang malam seperti kita,” ujar perempuan itu menegaskan.
“Tidurlah!”
“Kita bisa membesarkan anak ini sendiri. Walau sedikit, tapi hasil pekerjaanku sebagai pengemis sudah lebih dari cukup,” bela istrinya kembali.
“Kau ingat, ketika kau bawa anak kita mengemis di persimpangan itu? Kau digaruk petugas. Bahkan anak ini hampir dirampas mereka. Kau ingin itu terjadi lagi?” keluh lelaki itu.
Lelaki itu ingat bagaimana ia sampai pontang-panting membawa istri dan anaknya kabur dari tempat penampungan ketika keduanya diangkut petugas. Baginya, tempat penampungan ibarat neraka, walau orang-orang mengatakan tempat itu adalah tempat memanusiakan para binatang, tempat memasyarakatkan orang seperti mereka yang tinggal di gorong-gorong.
Tetapi bagaimana memanusiakan orang seperti mereka kalau petugas di sana membawa peluru? Apa memanusiakan manusia harus pakai peluru? Itu pertanyaan yang sulit dijawab. Ah… meski mereka binatang malam, tapi mereka tahu bahwa peluru hanya membuat nasib lebih buruk daripada seekor anjing malam.
“Kalau begitu aku akan melacur!”
“Melacur?”
“Demi anak kita,” pintanya berharap. Lelaki itu tak berhenti gelisah.
“Menjual tubuhmu berbeda dengan si-Inah, temanmu yang tinggal di seberang jembatan itu.”
“Loh…apa bedanya?”
“Si Inah menjual dirinya di losmen kelas melati. Sedangkan kau, paling-paling hanya bisa pakai gubuk pinggir Sungai Badera itu. Aku yakin tak banyak lelaki melirikmu. Paling-paling lakunya sama tukang gali proyek.”
“Itu pun sudah cukup.”
“Biaya gubuk saja sudah berapa, belum sewa tikar, pembersih, dan seember air dari anak-anak kampung itu. Jadi berapa lagi yang kau bawa pulang untuk beli susu anak kita? Tidak sebanding!” Lelaki itu tampaknya sedang berpikir, sedang berhitung, untung ruginya.
“Jadi kau tak setuju?” tanya istrinya.
“Sudahlah, sudah malam. Kita tidur saja. Besok kita cari jalan keluarnya.” Lelaki itu mendengus panjang. Ia kehabisan akal dengan perkataan istrinya, seperti tak rela berpisah dengan anaknya.
Ah, mengapa ia harus berharap? Bukankan pengharapan hanya milik manusia? Bukankah binatang malam seperti mereka dilarang bermimpi? Dalam sedu-sedan itu, mereka hanya bisa menjalani hidup yang mesti diterima, yang membelenggu setiap kali mimpi datang. Hidup sudah diperas oleh manusia-manusia kota, dan hanya sisa-sisa yang tertinggal. Sisa-sisa yang diperebutkan seperti tulang. Lalu mereka akan saling bunuh satu sama lain untuk mendapatkannya. Karena demikianlah jalannya. Jalan para binatang malam, penghuni gorong-gorong.
Sudahlah. Mereka, para binatang malam harus segera beristirahat: jangan bermimpi apalagi berharap, karena senja akan pulang ke peraduannya. Karena mentari pagi pun tidak akan pernah dibagi kepada mereka. Karena penghuni gorong-gorong tak terdata dalam peta harapan.
***
Lelaki itu bergegas melangkah pulang. Ia ingin secepatnya tiba di rumah, dan menemui istrinya. Tadi Pagi sebelum pergi, ia dan istrinya telah sepakat siapa yang mengantar anak mereka ke rumah Tuan Bobby.
“Kau sendiri yang pergi, aku ada urusan,” pinta lelaki itu pada istrinya.
“Kalau ada nanya nama anak ini, aku harus bilang apa?” tanya istrinya.
Lelaki itu sejenak terdiam. Sejak anak mereka lahir, tak terpikirkan sama sekali untuk memberinya sebuah nama. Mereka seolah terlupa. Tetapi bukankah mencari nama saja sudah jadi persoalan baru bagi mereka, menjadi tambahan beban yang seharusnya tidak mereka tanggung. Nama bukanlah penentu rejeki seseorang, jadi kenapa pula harus repot memikirkan nama anak mereka?
Lelaki itu mengusap muka. Berkali-kali.
“Terserah kau saja. Asal jangan diberi nama:Tikus!” sahutnya spontan. Ia merasa nama itu lebih rendah daripada nasib mereka, walau orang kota selalu memanggil mereka dengan nama itu.
Tetapi lelaki itu tiba-tiba tersadar. Barusan ia membohongi keyakinannya, karena ia ternyata telah memelihara harapan dalam dirinya.
Sejak kabar itu beredar bahwa gorong-gorong tempat mereka tinggal akan dibersihkan, maka ia dan istrinya ingin anaknya diasuh orang kota. Mereka tidak ingin anaknya menjadi binatang malam.
Lelaki itu tiba di rumah. Istrinya tersenyum menyambutnya.
“Sudah kau serahkan anak itu?” tanyanya dengan wajah berpeluh.
“Aku tidak jadi pergi.”
“Loh…” Lelaki itu menatap khawatir, mengharap penjelasan dari istrinya.
“Aku berikan anak itu kepada perempuan kota yang menawarnya. Menurutku, justru di tangannya anak kita lebih berharga. Perempuan itu telah menukarnya dengan uang sebanyak ini,” kata istrinya berbinar sambil menunjukkan segepok uang ratusan ribu yang terikat rapi. Lelaki itu terkejut.
“Kenapa…!” Matanya melotot ke arah istrinya.
“Aku…Aku tak yakin. Aku takut anak itu tak punya harapan pada Tuan Bobby. Sedangkan perempuan yang menawarnya, datang membawa harapan walau aku tahu, dia akan hilang dan kita tidak akan berjumpa lagi dengannya. Setidaknya anak itu tak seperti kita,” ucap istrinya memelas.
Lelaki itu terpaku pasrah. Kepalanya tertunduk. Ia tahu mereka tak boleh punya mimpi, apalagi berharap anaknya akan kembali. Karena mereka telah membiarkan para bajingan membawanya pergi. Direnggut sebuah masa yang memayungi mereka untuk terus saling memangsa satu sama lain.
Medan, 2023
Penulis: Hasudungan Rudy Yanto Sitohang
Cerpen yang sangat bagus, semoga kedepannya cerpen2 selanjutnya hadir di kolom budaya media CKR.
wuihhhhhh……