Cerpen DIARY KEMATIAN

sumber foto: www.freepik.com

Ketika desau angin meluruhkan ranting-ranting kering ke tanah, menyisir tumbuhan yang menyemak liar, aku tetap berdiam dalam rintihan jiwa. Seperti daun-daun Kamboja yang berguguran di antara makam-makam terbentang bisu. Tak berdaya menahan kepungan mentari pagi dan geliat suara langit yang memekakkan hati. Meliuk diam-diam di antara kebohongan yang tersimpan rapi.

Meskipun aku mampu menahan bara hingga kini, itu karena api yang menyala di dada belum sampai membakar habis hormatku padanya. Dengan sekuat tenaga, kujaga nyalanya supaya tidak berkobar-kobar menjadi raksasa api.

Ya, pagi ini aku dan Ibu berziarah ke makam ayah. Kebiasaan yang sudah kami lakukan dua tahun belakangan, setiap dua bulan sekali. Menaburkan mawar merah ke atas pusaranya yang Ibu petik sendiri dari kebun belakang rumah. Bunga-bunga yang beraroma busuk. “Jangan kotori pusara itu, Bu!” batinku teriak marah.

Di hadapan lelaki yang kini terbaring abadi di bawah gundukan tanah itu, yang pernah mencintainya setulus hati, kedua tangan Ibu begitu cekatan mencabuti rumput-rumput liar. Puihh!! Sungguh tak layak Ibu melakukan itu! Noda-noda hitam itu tak akan terhapus sebelum Ibu berucap ampun di kaki pusara ayah!

Sambil berjongkok, aku membersihkan dedaunan di celah gundukan batu-batu, meskipun ada debu melekat yang terasa begitu sulit dibersihkan. Andai Ibu tahu, bahwa hal ini kulakukan sekadar untuk menutupi rasa gundah dan amarahku yang membakar belakangan. Sudahlah, Bu, berhentilah berpura-pura padaku!

Begitulah, tanpa Ibu sadari ternyata aku telah masuk ke dalam bayang-bayang masa lalunya ketika membaca lembar demi lembar kisah cintanya dalam diary hitam itu. Tanpa sengaja, aku menemukannya di antara tumpukan buku-buku tua dan majalah bekas di gudang belakang. Ketika membaca halaman pertama, aku langsung tersentak. Ini seperti mimpi buruk. Apa yang kupikirkan tentang Ibu, perempuan yang telah melahirkan dan membesarkan aku hingga menikah dengan lelaki yang kucintai itu, sekarang berbalik. Aku marah! Aku kecewa! Ibu ternyata tak lebih dari perempuan jalang yang merayap di kesunyian malam di jalan-jalan kota.

Terhapus sudah rasa kagumku padanya. Padahal dengan mata hati, kusaksikan sendiri bagaimana Ibu merawat ayah dengan sabar selama sepuluh tahun terakhir akibat kecelakaan di tempatnya bekerja. Sebilah besi panjang jatuh dari tiang penahan jembatan menimpa ayah hingga membuat separuh tubuhnya lumpuh tanpa daya. Ah, tak seorangpun percaya bahwa Ibu, perempuan yang setia menemani ayah seharian di beranda depan, yang memandikannya setiap pagi dan sore, serta menyuapinya makan, ternyata bermain api di belakang dengan membagi cintanya pada lelaki lain.

“Kamu melamun lagi, Nisa?” Ibu membuatku kaget. Kupaksakan wajahku membalas pandangan matanya, menyembunyikan segala tanya yang melintas di kepala.

“Tidak…Tidak apa-apa, Bu.”

Kulihat wajah Ibu dipenuhi gurat-gurat api. Wajah penuh duri yang mencuat tajam. Sungguh menyakitkan bagi siapapun yang terkena ujungnya. Aku menunduk gelisah sambil mengelus-elus nisan. Kucoba mengirimkan ketenangan untuk mendinginkan hati ayah yang barangkali juga terbakar di alam sana.

“Sudah selesai. Mari berdoa untuk ayahmu,” ucap Ibu bangkit berdiri.

Embusan angin di pekuburan ini semakin lama terasa semakin kencang, menyisakan riak-riak yang tak mampu menahan lahirnya tunas-tunas dendam. Amarah yang tumbuh subur untuk membunuh bajingan itu.

***

Handoko! Nama bajingan itu terus menggangguku tanpa kutahu seperti apa sosoknya? Apa istimewanya dia sehingga namanya tetap mekar di hati Ibu. Dan begitu hebatkah lelaki itu sampai-sampai Ibu tak mampu menghapus cintanya pada bajingan itu, bahkan saat ayah sudah berada di alam baka.

Bersama pendar lampu meja hias kamarku berwarna oranye, setiap untaian kata dalam lembar demi lembar diary itu kubaca perlahan dan penuh hati-hati. Kucoba menyingkap rahasia dari kebohongan yang ditutupi selaput waktu. O..sungguh pandai Ibu menyembunyikan kebusukan di dalam ceruk hatinya. Luar biasa! Perempuan sederhana yang pendiam itu, ternyata mampu menyimpan bangkai yang akhirnya menguap ke permukaan.

Cinta! Kata-kata itu teruntai dalam kisah panjang lewat goresan indah di setiap lembarannya. Remuk redam tubuhku memahami ungkapan perasan Ibu yang begitu terang menyiratkan kerinduannya pada lelaki itu. Setiap halaman tertulis sajak-sajak penuh gairah dan letupan asmara. Ibu layaknya pujangga kesepian, berharap kekasihnya kembali hadir mengisi hatinya yang kering kerontang bertahun-tahun lamanya.

Kini kebencianku pada Ibu terbentang lebar. Segudang tanya menyergapku, melahirkan dendam yang harus kuselesaikan sendiri. Kehormatan ayah harus dikembalikan. Martabat keluarga harus disucikan kembali. Aku tak perlu larut bertanya-tanya mengapa semua ini terjadi. Segala rencana pembalasan mulai kupersiapkan dengan matang, kusimpan rapat-rapat, sambil menantikan waktu yang tepat kapan menghujamkan belati ini ke tubuh bajingan itu. Ingin kunikmati jeritannya setiap kali belati ini menghujam jantungnya.

***

Tapi ke manakah akan kucari lelaki itu? Tidak ada sebuah foto atau alamat pun yang kutemukan. Berulangkali kubolak-balik diary itu untuk mencari jejaknya. Tetap saja tak ada. Aku seperti memegang debu di langit kelabu. Aku nyaris putus asa. Ibu memang tak sesederhana yang kuduga. Ia ternyata pintar menyembunyikan keberadaan Handoko. Di mana kau, bajingan? Jangan bersembunyi lewat sajak-sajak dan puisi busuk itu! Tunjukkan dirimu!

Barangkali Handoko hanyalah seorang penyair lusuh, penulis roman picisan atau pemain sandiwara yang hidupnya tak karuan. Cuma namanya yang kutahu, dan kuduga umurnya kurang lebih serupa dengan Ibu.

Berbekal petunjuk tak seberapa itu, lantas kucari bajingan itu dengan amarah berkobar-kobar. Dendam seorang anak perempuan untuk menegakkan tabut cinta sang ayah. Kutelusuri taman budaya tempat biasanya para seniman berkumpul, kumasuki setiap gedung pertunjukan di kota ini, siapa tahu aku mendapati dirinya sedang berada di atas panggung sedang memainkan lakon cinta yang buruk.

Kutanyakan juga namanya pada perempuan-perempuan jalang di pinggir Simpang Selayang. Mungkin saja salah satu dari mereka pernah menghabiskan malam bersamanya penuh cumbu liar yang menjijikkan. Lelaki memang butuh belaian memabukkan, bukan sekadar ungkapan kata-kata. Bajingan sejati tak mungkin hidup semata-mata hanya dengan cinta.

Kini malam semakin merangkak meninggalkan senja jauh di belakang. Lampu-lampu temaram menerangi langkahku menyusuri sudut kota yang sepi. Gedung-gedung tinggi tegak membisu. Di seberang bundaran air mancur, sebuah warung kopi dadakan penuh lelaki menatapku dengan senyum dan kerling mata berahi saat aku melintas di depan mereka. Kupegang erat tas kecilku. Sebilah belati masih terasa dingin di sana, sedingin kedua kaki yang membawaku pulang.

Kutinggalkan jejak penasaran agar esok dan esoknya lagi, aku terus menapak ke empat penjuru angin, mencari di mana bajingan itu berkeliaran seperti anjing malam.

“Dari mana kamu sampai tengah malam begini baru pulang, Nisa? Agus sampai khawatir menunggumu sejak sore tadi.” Ibu menegurku ketika melewati ruang tengah.

Aku mendengus tak karuan. Seketika rasa benciku meluap keluar. Kutatap mata Ibu dengan sorot tajam. Mata yang gelisah. Mata penuh curiga.

“Apa itu penting bagi Ibu!”

“Ibu cuma bertanya. Ibu khawatir kamu kena apa-apa di luar sana. “

“Kalau begitu berhentilah bertanya, Bu!”

“Nisaa..!” Suara Ibu tertahan, “Sudah demikian jauhkah dirimu? Ibu tak mengerti kenapa akhir-akhir ini kamu terlihat berubah.”

Dada Ibu naik turun menahan emosi.

“Berubah? Apa Ibu pikir aku sama seperti perempuan jalang yang berdiri kesepian di luar sana, yang bersetia menunggu para lelaki sialan jatuh ke dalam pelukannya?” Mataku balas menatap tajam padanya.

“Ibu tidak menuduhmu, Nak.”

“Tak pantas Ibu berpikir seperti itu. Harusnya Ibu bertanya pada hati yang suci, bukan pada masa lalumu penuh busuk itu!”

“Nisaaa…!” Ibu terperanjat kaget.

Tak kuhiraukan panggilannya, aku langsung masuk ke dalam kamar sambil menutup pintu dengan keras. Di atas ranjang, kulihat Agus sudah terlelap tidur. Tubuhnya meringkuk di bawah selimut. Kuraba pelan belati di dalam tasku. Masih terasa dingin.

***

Tak ada malam yang mendatangkan sial selain malam ini. Ibu meneleponku barusan. Ia mengatakan bahwa dirinya benar-benar sayang padaku. Ia takut kehilangan permata hatinya. Anak perempuan satu-satunya. Puihh! Aku bukan gadis kecil yang bisa dibuai dengan dongeng-dongeng bodoh seperti dulu. Bukankah kami sama-sama perempuan dewasa yang diberi anugerah untuk berbicara dari hati ke hati? Tak perlu ada kata-kata memesona. Tak perlu ada sajak-sajak itu lagi. Andai Ibu tahu bahwa kesucian cinta pantang dinodai dengan kebohongan. Andai Ibu ingat bagaimana dulu ia mengajarkan arti kesucian kepadaku, agar aku selamat dari lendir-lendir hitam berbau busuk, dari lelaki serupa iblis di lorong kegelapan.

Lalu lalang mobil di jalan kulihat tampak seperti bayangan iblis yang menyeringai tajam. Dan tiba-tiba dari mobil-mobil itu keluar sosok menyerupai lelaki tua yang selama ini tercipta dalam pikiranku. Begitu banyak jumlahnya, wajahnya pun nyaris serupa. Mereka tertawa. Keras sekali. Dadaku mulai berdegup kencang. Aku segera berlari menerobos bayang-bayang itu, melewati orang-orang yang menatapku aneh. Aku ingin segera terbebas dari pikiran yang membelenggu ini.

Setibanya di rumah, aku tak mendapati Ibu yang biasanya duduk di atas sofa menungguku pulang. Kulangkahkan kaki menuju kamar. Saat masuk, tiba-tiba kulihat lantai kamar penuh dengan ceceran darah. Mataku membeliak, suaraku tercekik di tenggorokan menyaksikan Agus, suamiku itu, sedang meregang nyawa di atas ranjang. Kedua tangannya memegang leher yang terus mengucurkan darah. Tubuhnya bergerak-gerak tak karuan. Matanya mendelik ke atas. Lidahnya terjulur keluar. Di sampingnya kulihat Ibu duduk tenang di pinggir ranjang. Napasnya naik turun. Di tangan kanannya tergenggam sebilah belati yang masih meneteskan darah. Dan kulihat sebuah diary hitam tergeletak di pangkuannya.

Diary itu adalah milikku.

Perlahan aku berjalan menuju buku diaryku itu. Mengambilnya dari pangkuan Ibu. Aku masih ingat lembar terakhir yang kutuliskan di sana. Curahan jiwaku ketika memergoki Agus selingkuh dengan perempuan teman sekantornya.

Kutatap wajah Ibu yang dipenuhi percikan darah. Dari matanya terpancar rona kepuasan setelah menikmati jeritan lelaki malang itu.

Medan, Maret 2025

Penulis: Hasudungan Rudy Yanto Sitohang

3 komentar untuk “Cerpen DIARY KEMATIAN”

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top