
Cekaer.com – Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto menyatakan bahwa Sikap Politik yang kritis selama ini menyebabkan dirinya terjerat dalam proses hukum saat ini, hal tersebut disampaikan saat konferensi pers di Kantor DPP PDI Perjuangan, Jakarta, Selasa (18/2).
“Dalam panggung besar politik di Indonesia, apa yang terjadi tidak bisa dilepaskan dari sikap-sikap politik yang saya sampaikan sebagai Sekretaris Jendral DPP PDI Pejuangan. sikap kritis itulah yang menciptakan hadirnya rasa tidak senang dalam diri seseorang yang mengindentikkan dirinya sebagai seorang raja.” ujar hasto yang merupakan Sekjen DPP PDI Perjuangan
Hasto menyampaikan ada empat sikap kritis yang dia sampaikan sebelumnya, Pertama adalah Ketika PDI Perjuangan secara resmi menolak kehadiran timnas Israel dalam Piala Dunia U-20 tahun 2023. Sikap ini, menurutnya, berpijak pada konstitusi, sejarah, serta prinsip kemanusiaan yang telah menjadi komitmen Indonesia sejak Konferensi Asia-Afrika 1955 di Bandung.
“Pembebasan dan kemerdekaan Palestina adalah sikap politik resmi yang telah ditegaskan oleh pemerintah Indonesia sejak lama. Kini, dunia pun mengutuk kekejaman Israel. Ini adalah Satyam Eva Jayate pertama,” ujar Hasto.
Mometum kedua saat PDI Perjuangan secara tegas menolak wacana perpanjangan masa jabatan Presiden Jokowi atau tiga periode. Menurutnya, prinsip yang dipegang oleh Ketua Umum DPP PDI Perjuangan Prof. Dr. (HC) Megawati Soekarnoputri sudah jelas, yaitu tetap berpegang pada Pasal 7 UUD 1945, yang mengatur bahwa masa jabatan presiden hanya dua periode.
“Seluruh masyarakat, akademisi, dan berbagai elemen bangsa juga menolak perpanjangan masa jabatan ini. Ini adalah Satyam Eva Jayate kedua—menjaga konstitusi dari kepentingan politik segelintir orang,” katanya.
Ketiga adalah saat Hasto menyoroti Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90 Tahun 2023, yang dianggap sebagai bentuk penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) dengan manipulasi hukum.
“Ini adalah bentuk campur tangan Presiden Jokowi dan Ketua MK saat itu, Anwar Usman. Keputusan ini menjadi titik paling gelap dalam sejarah demokrasi Indonesia,” tegasnya.
Hasto menambahkan bahwa Megawati Soekarnoputri sangat keras menentang keputusan tersebut karena bertentangan dengan semangat demokrasi yang diatur dalam undang-undang.
“Ketika konstitusi dilanggar melalui abuse of power, maka bisa menciptakan krisis. Ini adalah Satyam Eva Jayate ketiga—menjaga demokrasi dari manipulasi hukum,” katanya.
Kritik keras Hasto terhadap penyalahgunaan bantuan sosial (bansos) dalam Pemilu 2024, yang menurutnya menjadi alat politik untuk membujuk rakyat merupakan momentum keempat.
“Masyarakat mencatat begitu masifnya intimidasi terhadap kepala desa, aktivis, jurnalis, tokoh prodemokrasi, anggota legislatif, pengusaha, hingga kepala daerah,” tegasnya.
Ia bahkan mengutip pernyataan Jenderal (Purn) Luhut Binsar Pandjaitan pada 8 Februari 2024, yang menyebut bahwa dari Rp500 triliun Dana Bansos, hanya Rp250 triliun yang benar-benar sampai ke masyarakat.
“Inilah penyalahgunaan keuangan negara dalam proses elektoral yang seharusnya juga menjadi perhatian. Ini adalah Satyam Eva Jayate keempat—menjaga keadilan dalam demokrasi dan menolak politik transaksional,” ujarnya.
Dalam kasus yang menyeretnya ini, Hasto menegaskan bahwa dirinya siap menghadapi proses hukum di KPK. Namun, ia menekankan bahwa hukum tidak boleh dijadikan alat politik untuk menekan pihak tertentu.
“Saya siap menjalani seluruh konsekuensi hukum. Tapi kita tidak bisa menutup mata bahwa ini adalah bagian dari tekanan politik,” ujarnya.
Hasto menilai bahwa empat sikap politik yang ia perjuangkan justru membuatnya menjadi target.
“Semua ini adalah upaya mempertahankan kebenaran. Kebenaran pasti akan menang,” tegasnya.