Refleksi Ulang Hegemoni Amerika

Cekaer.com – Adagium berbunyi “Ketika Amerika bersin, seluruh dunia akan masuk angin”, merupakan untaian frasa pengakuan bernada superioritas atas hegemoni Amerika, yaitu besarnya pengaruh dan dominasi Amerika terhadap lanskap global ekonomi dan politik.

Runtuhnya tembok Berlin (9/9/1989), dan munculnya Glasnost dan Perestroika kebijakan Mikhael Gorbachev sehingga menyebabkan Uni Soviet berkeping-keping (1991), jadi pintu terbuka yang diyakini banyak kalangan sebagai era berakhirnya perang dingin.

Francis Fukuyama menyebutnya sebagai “Akhir Sejarah”, berakhirnya pertarungan ideologi, liberalisme vs absolutisme, bolshevisme vs Fasisme, dan terakhir hilangnya marwah marxisme sebagai pertanda keunggulan demokrasi liberal barat. Liberalisme ekonomi dan politik semakin berkibar digawangi oleh Amerika.

Essai Francis Fukuyama (1989) tegas menyebut “Perdebatan tentang bentuk ideal pemerintahan telah selesai, dan demokrasi liberal telah menang, persoalan besar tentang ideologi adalah masa lalu”

Kemudian muncul essai Samuel P Huntington (1993), ia berpendapat “Jalur genting konflik masa depan bukanlah bersifat ideologis, ekonomis ataupun politik, melainkan bersifat budaya, saat peradaba-peradaban besar dunia saling berbenturan”, sehingga Huntington menyimpulkan politik dunia sedang memasuki tahap baru, budayalah yang akan menjadi faktor pemecah belah umat manusia, (Benturan Peradaban).

Runtuhnya menara kembar 110 lantai World Trade Center (WTC), New York, 11 September 2001, menewaskan ribuan orang dan jadi bentuk teror terburuk sepanjang sejarah Amerika disebut dilakukan Al Qaeda dengan cara menabrakkan dua pesawat ke gedung WTC, merupakan peristiwa pilu bagaikan pembenaran tengah terjadi bentuk perang baru, yaitu terorisme atas nama benturan peradaban.

“Terrorist attacks can shake the foundations of our biggest building, but they cannot touch the foundation of Amerika”. – George W Bush

George W Bush, Presiden Amerika saat peristiwa itu, seketika kaget dan marah besar, kemudian meyakinkan publik bahwa ada keterkaitan organisasi Al Qaeda pimpinan Osama bin Laden dengan penyerangan ini. Latar belakang peristiwa 11 September kemudian disebut dilakukan karena didasari oleh keinginan Al Qaeda untuk mempromosikan identitas Islam dan memerangi Barat.

Al Qaeda dituding ingin menggulingkan pemerintah di Timur Tengah dan negara-negara Muslim lain yang tidak menegakkan Islam fundamentalis, dan menganggap dukungan Amerika terhadap negara-negara tersebut sebagai hambatan utama mencapai tujuan utama Al Qaeda.

Dibalik cara pandang pihak Amerika, muncul juga analisis menarik tentang dugaan adanya teori konspirasi di balik serangan terhadap WTC yang menganggap serangan itu bukan dilakukan olek aksi terorisme. Runtuhnya gedung WTC justru dianggap sebagai sebuah misteri karena menyisakan banyak tanda tanya kenapa semudah itu terjadi serangan dan segampang itu runtuh gedung WTC milik sebuah negara adikuasa yang selama ini sering disebut sebagai polisi dunia.

Amerika memang adakalanya bagaikan negara yang memiliki banyak orang peramal ulung, atau futurulog, yaitu mampu mengeksplorasi maupun memprediksi kemungkinan yang terjadi dimasa depan.

Ilmuwan sosial atau pengamat Amerika sejak awal sudah meramalkan bakal terjadi benturan peradaban, terutama karena faktor ajaran agama, tak lama kemudian terjadi serangan memilukan, menyisakan misteri berbau konspirasi di jantung kehidupan Amerika sendiri. Bukan kah itu sebuah tanda tanya besar ?

AMERICA FIRST

Sejak kampanye dan sesaat setelah dilantik, hingga saat ini, Donald Trump selalu menggaungkan retorika patriotiknya dengan slogan “Amerika First”, berarti menempatkan kepentingan Amerika diatas segalanya, dengan janji membuat Amerika hebat lagi. Kemudian slogan ini menjadi dasar semua kebijakannya dalam periode kepemimpinannya saat ini.

Bila kita lakukan refleksi mendalam, makna tersirat dibelakang slogan itu sesungguhnya ada pesan tersembunyi yang mengandung makna bahwa sesungguhnya kondisi Amerika saat ini sedang tidak baik-baik saja. Sehingga dipilih jalan menetapkan kebijakan pemerintahan Donald Trump berdasarkan kepentingan Amerika diatas segala-galanya untuk membawa Amerika bangkit kembali sebagai salah satu negara super power.

Dugaan itu tidak ada salahnya jika mencermati kondisi domestik Amerika akhir-akhir ini yang secara data perdagangan sesungguhnya mengalami defisit perdagagan dengan beberapa negara mitra bisnisnya, terutama mengalami defisit perdagangan dengan China.

Globalisasi atau perdagangan bebas besutan Amerika tak ubahnya bagaikan senjata makan tuan, merugikan Amerika, merugikan perusahaan manufaktur terutama perusahaan teknologi informasi andalan Amerika. Sehingga diawal kepemimpinannya Donald Trump memilih kebijakan perang dagang, terutama menerapkan tarif impor tinggi kepada China serta Mexico dan Canada yang kemudian penerapan tarif impor dilakukan dengan tarik ulur.

Retorika “America First” ala Donald Trump ini dikuatirkan menimbulkan ketegangan global dalam jangka panjang, karenas sangat kontraversial, proteksionisme serta pembatasan impor yang menguntungkan dalam kurun waktu jangka pendek buat Amerika tetapi dapat merusak hubungan perdagangan Internasional, mengganggu stabilitas ekonomi global, bahkan memicu semakin berubah dan terkristalisasinya hubungan kerjasama ekonomi regional maupun multilateral secara kawasan yang justru menjadikan Amerika musuh bersama.

Munculnya aliansi dagang baru oleh beberapa negara di luar Amerika justru dapat menyebabkan lahirnya de-globalisasi bentuk baru rombak ulang struktur ekonomi global. Konon dalam perbincangan di kalangan pemimpin dunia di aliansi perdagagan baru tersebut kerap membicarakan bagaimana cara tidak tergantung lagi terhadap mata uang dollar AS yang selama ini memonopoli cadangan uang dunia.

Jika Amerika tetap ngotot memaksakan kehendaknya melakukan perang dagang, tarif dan proteksionisme diprediksi akan memaksa negara-negara lain mengurangi ketergantungan terhadap Amerika, sehingga memungkinkan lahir tatanan ekonomi dunia baru yang lebih terfragmentasi.

Salah satu kerjasama ekonomi potensial yang memungkinkan lebih menguat adalah Zona Euro, kelompok negara menggunakan mata uang Euro, maupun kerjasama sekonomi European Economic Area (EEA) yang mencakup Uni Eropah plus Islandia, Liechtenstein dan Norwegia. Maupun FTA / Perjanjian Perdagangan Bebas oleh Uni Eropa dengan negara di luar Eropa seperti Kanada, Jepang dan ASEAN.

Rusia sendiri sebagai musuh bebuyutan Amerika bisa jadi akan memperkuat CISFTA ( Commonwealth of Independent States Free Trade Area) dengan angota negara Rusia, Belarus, Kazakhastan, Armenia, Kyrgyzstan dan negara-negara eks Uni Soviet lainnya.

Sedangkan China sebagai salah satu negara yang tengah bertransformasi jadi salah satu negara perekonomian besar di dunia, dan paling diperhitungkan Amerika saat ini, sudah barang tentu tidak akan tinggal diam diri. Misalnya memperkuat BRI (Belt Road Initiative, proyek infrastruktur dan konektivitas lebih dari 100 negara, termasuk Asia Pasifik, AIIB (Asian Infrastructure Investment Bank, bank multilateral didirikan China, pemegang saham terbesar adalah China, melibatkan banyak negara Asia Pasifik untuk mendanai proyek infrastruktur di Asia Pasifik.

Artinya, China tengah memainkan peran sentral kerjasama ekonomi di kawasan Asia Pasifik baik bersifat bilateral, regional maupun multilateral yang bertujuan untuk memperkuat integrasi ekonomi, perdagangan dan investasi, serta memperkuat pengaruh strategis di kawasan ini.

BRICS juga akan jadi alternatif pilihan bagi negara-negara Asia Pasifik menjalin kerjasama ekonomi dan politik di kawasan Asia Pasifik sebagai jalan mengurangi ketergantungan kepada kekuatan barat. Tiongkok, India dan Rusia di dalam BRICS jadi daya tarik besar meningkatkan kerjasama ekonomi, ditambah lagi dengan potensi adanya NDB (New Development Bank) yang berinvestasi dalam infrastruktur di Asia Pasifik.

Kehadiran BRICS berpotensi sebagai kekuatan baru menjaga keseimbangan dinamika politik global, mengimbangi dominasi Amerika atau Barat sehingga dapat merubah kondisi geopolitik kontemporer, khususnya untuk kawasan Asia Pasifik.

Asia Pasifik saat ini memang bagaikan “gadis cantik” mempesona, dan mengundang rebutan. China di dalamnya sebagai maha bintang yang jadi pusat perhatian serta diikuti gerakannya kemana pun dia melangkah. Maka wajar jika Amerika sebagai aktor tenar di dunia selama ini kuatir terhadap China hingga kini.

Untuk menghindari tergerusnya pengaruh Amerika di kawasan Asia Pasifik maka Amerika getol melakukan kerjasama ekonomi regional lewat APEC (Kerjasama Ekonomi Asia Pasifik). Namun untuk lebih mempekuat pengaruhnya di kawasan Asia Pasifik maka Amerika juga melakukan kerjasama spesifik (Forum Informal), bernama Quad terdiri dari Jepang, Australia, India dan Amerika Serikat.

Quad sendiri hadir memiliki agenda tersembunyi sebagai upaya mengantisipasi semakin menguatnya pengaruh China di kawasan Asia Pasifik, terutama di Laut China Selatan. Quad melakukan kerjasama untuk mewujudkan “Indo-Pasifik yang bebas dan Terbuka (FOIP), yaitu keempat negara bersepakat berkontribusi menjaga kawasan Indo-Pasifik.

Bahkan Quad ingin memposisikan diri sebagai badan keamanan terkemuka di Indo-Pasifik. Hubungan bilateral yang telah lama terjalin antara Amerika dan Australia semakin diperkuat dalam aliansi Quad, termasuk kerjasama membantu Australia memiliki dan mengembangkan senjata hipersonik sebagai tanggapan kekhawatiran yang semakin besar terhadap pengaruh Tiongkok di kawasan Asia-Pasifik.

Itulah sesungguhnya karakter kepemimpinan Amerika, selalu ingin mempertahankan hegemoni. Seakan satu-satunya negara di dunia ini paling berkuasa, dan sangat reaktif bila kepentingannya terusik. Dengan teori konspirasinya sering melakukan tindakan-tindakan yang merugikan orang lain tetapi mengklaim kebenaran berdasarkan teori konspirasinya.

Jika suatu saat kepentingannya terganggu di Asia Pasifik tidak tertutup kemungkinan Amerika akan selalu menggoreng potensi perselisihan di Laut China Selatan dengan jadikan China sebagai kambing hitam.

Maka wajar banyak pemimpin dunia saat ini melakukan reorientasi hubungan internasional, serta berupaya mengeliminir hegemoni Amerika. Genderang perang yang telah di tabuh Donald Trump lewat kebijakan Perang Tarif dan proteksionisme semakin membuka mata banyak orang akan perasaan superioritas Amerika dengan slogan “America First”.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top